Sabtu, 29 Juni 2013

Hukum Rentenir




Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, mohon pembahasannya tentang riba, terutama yang berkaitan dengan rentenir
Bagaimana hukumnya menurut Al-Qur`an dan Sunnah
Terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb



*** Definisi Riba

Dalam bahasa Arab, kata “riba” berasal dari kata “rabaa yarbuu” yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah
jadi menurut bahasa, riba berarti kelebihan atau tambahan

Sedangkan menurut istilah, riba adalah kelebihan harta dalam suatu muamalah (baca: transaksi) dengan tidak ada imbalan atau gantinya

Sebagai contoh,
Fadhil meminjam uang kepada Fauzan sebesar Rp. 100.000,- untuk satu bulan
Tetapi Fauzan tidak mau meminjamkannya kecuali bila Fadhil mau mengembalikannya sebesar Rp. 110.000,- pada saat jatuh tempo
Dalam terminologi fiqih, kelebihan uang Rp. 10.000,- yang harus dibayarkan Fadhil itu disebut dengan riba



*** Macam-macam Riba
Secara garis besar, riba terbagi menjadi dua, yaitu:

Pertama:
Riba al-fadhl;
Yang dimaksud dengan riba al-fadhl adalah kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’ (timbangan atau takaran)

Misal, 1 kg gula dijual dengan 1 ¼ kg gula lainnya
Kelebihan ¼ kg gula dalam jual beli ini disebut dengan riba al-fadhl



Kedua:
Riba an-nasii’ah;
Yang dimaksud dengan riba an-nasii’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada orang yang menghutanginya karena adanya faktor penundaan waktu pembayaran

Misal, Badu berhutang kepada Budi sejumlah Rp. 200.000,- yang pembayarannya dijanjikan bulan depan, dengan syarat pengembalian itu dilebihkan menjadi Rp. 250.000,-.




*** Hukum Riba

Riba merupakan perbuatan yang dibenci dan diharamkan Allah subhanahu wa ta'ala
Dalam Qs. Al-Baqarah (2): 275, Allah berfirman:

dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Bahkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.,
Rasulullah saw. Mengatagorikan riba sebagai salah satu dari 7 dosa besar yang harus dihindari
(HR. Muslim)

Kemudian di Hadits yang lain, Rasulullah saw. melaknat kedua belah pihak yang melakukan transaksi riba dan juga orang yang menjadi saksi dalam transaksi tersebut
(HR. Abu Daud)


Dalam Islam, pengharaman riba ini tidak dilakukan dalam satu kali tahap, melainkan dilakukan secara gradual (bertahap)
Hal ini disebabkan karena praktek riba (yang merupakan tradisi kaum Yahudi) sudah mengakar di kalangan masyarakat Arab pada saat itu, sama seperti kebiasaan meminum khamar

Menurut Al-Maraghi, seorang mufasir asal Mesir, pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap:

Pertama:
Allah hanya menegaskan bahwa riba bersifat negatif
Allah berfirman:

Dan suatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah
(Qs. Ar-Ruum [30]: 39)


Kedua:
Allah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman-Nya terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi

Allah berfirman:
Dan disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil
(Qs. An-Nisaa` [4]: 161)



Ketiga:
Allah yang mengharamkan riba yang berlipat ganda
Dia berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
(QS. Ali Imran [3]: 130)
Pada ayat ini, hanya riba yang berlipat ganda saja yang diharamkan



Keempat:
Allah mengharamkan riba secara total dalam segala bentuknya, baik yang berlipat ganda ataupun tidak
Dia berfirman:
dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
(QS. Al-Baqarah [2]: 275)



*** Praktek Riba Zaman Sekarang

Sedikitnya ada dua praktek riba yang berkembang saat ini:

Pertama: Rentenir;
Praktek riba seperti ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, terutama di daerah-daerah tertentu
Semua ulama sepakat mengharamkan praktek riba tersebut karena dianggap sama persis dengan praktek riba yang berkembang di kalangan masyarakat Jahiliyah dulu, yang kemudian diharamkan oleh Islam

Unsur “menzhalimi” yang terkandung dalam praktek ini sangat kentara. Sebab, hutang yang awalnya hanya Rp. 300 juta bisa saja menjadi Rp. 500 juta atau –bahkan- lebih bila orang yang berhutang tidak segera melunasinya



Kedua: Bunga bank;
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum bunga bank, apakah termasuk katagori riba ataukah tidak, saya pribadi menganggap bunga bank termasuk riba, sehingga ia pun diharamkan
Pembahasan mengenai bunga bank pernah saya jelaskan pada konsultasi yang berjudul “Hukum Bunga Bank”
Berikut kutipannya:

“Pembahasan mengenai hukum bunga bank sangat berkaitan dengan pembahasan tentang riba dalam Islam
Pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa hukum riba adalah haram, sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam Qs. Al-Baqarah (2): 275:

”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”


Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah bunga bank termasuk riba yang diharamkan tersebut ataukah tidak?

Munculnya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena sistem perekonomian perbankan belum ada pada zaman dulu, apalagi pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
Bahkan, pembahasan tentang bunga bank itu sendiri baru dapat ditemukan dalam literatur-literatur fiqih kontemporer


Wahbah az-Zuhali, seorang pakar fiqih asal Syria, berpendapat bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan oleh Islam
Wahbah az-Zuhaili mengatagorikan bunga bank sebagai riba an-nasii`ah karena –menurutnya- bunga bank itu mengandung unsur kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima, dengan menggunakan tenggang waktu


Pendapat serupa juga disampaikan oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, Kairo
Para ulama yang tergabung dalam lembaga ini berpendapat bahwa meskipun sistem perekonomian suatu negara tidak bisa maju tanpa bank, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat adh’aafan mudhaa’afatan (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’


Tetapi ada sebagian ulama yang mengaitkan keharaman riba tersebut dengan unsur azh-zhulm (penganiayaan atau penindasan)
Artinya, bila pinjaman yang diberikan itu tidak menyebabkan orang lain merasa teraniaya atau tertindas maka ia tidak dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan, meskipun dilakukan dengan sistem bunga

Diantara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufasir dari Mesir
Menurutnya, tidaklah termasuk ke dalam pengertian riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut
Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah pihak


Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab –mufasir Indonesia-, setelah menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzulnya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ’illat (sebab) dari keharaman riba itu adalah sifat azh-zhulm (aniaya), seperti yang disebutkan di akhir ayat 279 dari Surah Al-Baqarah

Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang


Wallaahu A’lam….


***
Referensi :
Fiqh Muamalah, Dr. H. Nasrun Haroen, MA; Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta)
*

Hukum Meminjam Uang di Koperasi Simpan Pinjam




~*~  Hukum Koperasi Simpan Pinjam  ~*~




Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang dirahmati Alloh, di kantor saya berdiri satu koperasi
Koperasi tersebut hanya bergerak dalam satu bidang usaha, yaitu simpan pinjam
Sudah banyak pegawai yang memanfaatkan jasa koperasi untuk memenuhi keperluannya.
Lebih kurang dua bulan lagi, Insya Allah isteri saya melahirkan anak pertama kami

Terkait hal tersebut, tentu saja banyak biaya yang harus dipersiapkan
Khususnya mengantisipasi hal-hal yang tak terduga, misalnya harus melahirkan secara caesar yang dilihat dari segi biaya tentu saja sangat besar
Maka dari itu yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana hukumnya meminjam uang dari koperasi kantor untuk biaya kelahiran anak kami, sementara bila hanya mengandalkan dari gaji yang saya miliki, tidak akan mencukupi

Atas jawaban Pak Ustadz, saya ucapkan Jazzakalloh..
Wassalamualaikum Wr. Wb



oOo



Assalmu ‘alaikum wr wb
Koperasi simpan pinjam itu sangat baik dan banyak manfaatnya, baik buat anggota maupun orang lain yang bisa mendapat manfaatnya
Terutama bila sistem simpan pinjamnya menggunakan cara-cara yang dihalalkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai Tuhan Yang Maha Mengatur segala urusan manusia, dari masalah ibadah hingga muamalah

Mungkin ada sebagian saudara-saudara kita yang muslim dan diamanahi mengelola koperasi simpan pinjam itu, maka saran kami sebaiknya digunakan sistem yang lebih menguntungkan kedua belah pihak

Bagi kami tidak penting penggunaan istilah koperasi syariah atau bukan, asalkan tidak menjalankan praktek ribawi

Misalnya, koperasi itu tetap mendapatkan keuntungan dari simpan pinjam, dengan sistem bagi hasil, bukan dengan pengenaan bunga (interest)

Boleh jadi ada sebagian saudara kita yang muslim agak alergi dengan istilah syariah, sehingga keberatan kalau koperasinya diembel-embeli dengan istilah syariah
Hal ini tidak mengapa, tetapi yang penting justru esensinya

Koperasi simpan pinjam yang maju, profesional dan didambakan adalah yang tidak merugikan anggotanya dengan beban riba
Sebaliknya, koperasi membantu anggotanya yang memang membutuhkan, namun anggota juga memberikan dukungan buat koperasi

Khusus buat pinjaman yang bersifat kesehatan dan kebutuhan mendesak, sebaiknya koperasi punya unit sosial yang bisa memberikan pinjaman sosial cepat cair saat itu juga, tanpa mengenakan bunga
Bahkan kalau mau lebih berkah, dana seperti itu bukan dipinjamkan, melainkan disedekahkan

Pengurus koperasi yang punya iman kepada Allah SWT pasti punya keyakinan bahwa uang yang disedekahkan itu tidak akan pernah berkurang
Justru sebaliknya, sedekah ituadalahsarana untuk membuka pintu rezeki dari langit dan bumi

Semakin besar nilai sedekahnya, semakin besar gantinya yang Allah berikan
Sedangkan untuk pinjaman yang berorientasi bisnis dan usaha, koperasi menjalankan sistem bagi hasil, bukan interest yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Sehingga koperasi itu benar-benar berada di dalam keberkahan-Nya dan selalu diberikan rizki dari arah yang tidak terduga sebelumnya

Buat anda, bila koperasi simpan pinjam di tempat anda sudah mengacu kepada nilai-nilai di atas, tentu akan sangat bersyukur
Sedangkan bila belum ada, maka upayakan untung pinjam uang dari muslimin yang tahu agama, sehingga tidak mengenakan bunga atas pinjamannya

Hindari koperasi yang hanya sekedar kedok kamuflase dari rentenir
Namanya koperasi dan operasinya 100% rentenir?
Nauzu billhi min zalik


Sebaiknya jangan pernah terpkir di benak anda untuk bersentuhan dengan transaksi haram seperti itu
Kecuali sudah tidak ada lagi manusia muslim di duni ini yang tahu halal haram

Wallahu a’lam bishshawab,
wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc






***
Referensi :
Harun Alrasyid – Selasa, 4 Muharram 1428 H / 23 Januari 2007 07:07 WIB
http://m.eramuslim.com/ekonomi/hukum-meminjam-uang-di-koperasi-simpan-pinjam.htm
*

Mengungkap Kalimat Sayyidina




~*~  Mengungkap Kalimat Sayyidina  ~*~



Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at
Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk

Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254)


Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:

وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39)

Artinya :
“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”

(Qs. Ali ‘Imran: 39)


Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul

Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu
Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)

Artinya :
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”
(HR. at-Tirmidzi)


Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan ...

“Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”,
Meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”
Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur


Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah


Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya

Dalam bacaan beliau:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ


Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya

Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah
“Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”
Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ


Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau
Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:

“Wa Ana Zidtuha...”

Artinya:
“Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”
(HR Abu Dawud)


Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata:
“Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya:

“Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?"

Orang yang yang dimaksud menjawab:
“Saya Wahai Rasulullah...”


Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”



Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut:

“Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara

Pertama;
Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur


Dua;
Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya


Tiga;
Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh”
(Fath al-Bari, j. 2, h. 287). 


Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat
Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya


Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ

Artinya :

“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”

Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn)


Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing
Yaitu pada kata “Tusayyiduni”

Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”

Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”

Dengan demikian, seandainya hadits di atas benar adanya, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”

Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn

Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab)

Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya
Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah
Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad


Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:

الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ

Artina :

“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil”
(Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156)


Semoga Bermanfaat




***
Referensi :
Selasa, 30 Maret 2010 @ 14:4
oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Catatan)
*

Kamis, 06 Juni 2013

Assalamu'alaikum




~*~  Hukum Laki-laki Mengucapkan Salam Kepada Kaum Wanita dan Sebaliknya  ~*~


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya

Dalam pergaulan antar sesama muslim ada adab dan hak-hak yang wajib untuk dijaga
Seorang muslim harus melazimi dan menunaikan adab dan hak tersebut kepada saudara muslimnya yang lain

Dalam menunaikannya harus disertai kayakinan bahwa itu bagian dari ibadah kepada Allah Ta’ala
Karena Allah telah mewajibkan hak-hak dan adab tersebut kepada seorang muslim untuk dipraktekkan terhadap saudara muslimnya, maka melaksanakannya termasuk bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala


Di antara hak-hak dan adab tersebut adalah mengucapkan salam kepada saudara muslim
Mengucapkan salam ini disyariatkan saat bertemu dan berpisah, saat hadir dalam majelis dan saat meninggalkannya, serta beberapa kondisi lainnya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتْ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنْ الْآخِرَةِ
Artinya :
Apabila salah seorang kalian sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam. Dan tidaklah (salam) yang pertama lebih berhak daripada (salam) yang kedua
(HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi serta yang lainnya dan Syaikh Al-Albani mengatakan: Hasan shahih)
Maknanya, kedua-duanya adalah benar dan sunnah


Dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu berkata, aku mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : إذَا لَقِيته فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ
Artinya :
Hak muslim atas muslim lainnya ada enam: apabila engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam, apabila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, . . . .
(HR. Muslim)



Salam Laki-laki Kepada Kaum Wanita dan Sebaliknya

Anjuran untuk mengucapkan salam kepada sesama muslim tidak berlaku bagi sesama jenis saja, tapi juga kepada lawan jenis
Karena syariat Islam ditujukan kepada kaum wanita dan laki-laki, kecuali ada dalil yang menghususkannya bagi kenis kelamin tertentu
Hanya saja dalam mengucapkan salam kepada lawan jenis harus terpenuhi syaratnya, yaitu aman dari fitnah
Karenanya, jika ditakutkan akan menimbulkan fitnah maka tidak dianjurkan

Al-Hafidz Ibnul Hajar dalam Fathul Baari dalam mengomentari bab Taslim al-Rijal ‘alaal-Nisa’ wa al-Nisa’ ‘ala al-Rijal (Bab salamnya kaum lelaki kepada kaum perempuan dan kaum perempuan kepada kaum lelaki), mengatakan bahwa Imam al-Bukhari seolah mengisyaratkan dalam bab ini membantah riwayat maqthu’ (berhenti pada tabi’in) dan mu’dhal (salah satu jenis hadits dhaif) yang dikeluarkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir yang berisi makruhnya kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya
Kemudian Ibnul Hajar menjelaskan bahwa maksud dari bolehnya ini (kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya) ketika aman dari fitnah

Ibnul Hajar rahimahullah juga menukil ucapan Ibnu Bathal dari al-Muhallab, “Salamnya kaum lelaki kepada kaum perempuan dan kaum perempuan kepada kaum lelaki boleh, apabila aman dari fitnah”
Bahkan kalau dalam majlis berkumpul kaum laki-laki dan wanita maka boleh mengucapkan salam dari dua sisi, (Demikian yang terdapat dalam Fathul Baari)
Maka siapa yang yakin dirinya aman dari fitnah, lebih baik dia mengucapkan salam
Sebaliknya, siapa yang takut akan menimbulkan fitnah, maka diam itu yang lebih baik dan lebih selamat (dari ucapan al-Halimi dalam Fathul Baari)

Anjuran untuk mengucapkan salam kepada sesama muslim tidak berlaku bagi sesama jenis saja, tapi juga kepada lawan jenis.
Karena syariat Islam ditujukan kepada kaum wanita dan laki-laki, kecuali ada dalil yang menghususkannya bagi kenis kelamin tertentu.

Berikut ini kamu sebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya mengucapkan salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya, selama aman dari fitnah

A. Salam laki-laki kepada kaum wanita

Dalil pertama: Dari Abu Hazim, dari Sahal berkata:

قَالَ كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قُلْتُ وَلِمَ قَالَ كَانَتْ لَنَا عَجُوزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ قَالَ ابْنُ مَسْلَمَةَ نَخْلٍ بِالْمَدِينَةِ فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُولِ السِّلْقِ فَتَطْرَحُهُ فِي قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيرٍ فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا فَنَفْرَحُ مِنْ أَجْلِهِ وَمَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ
Artinya :
Kami sangat gembira bila tiba hari Jum’at.” Saya (Abu Hazim) bertanya kepada Sahal: “Mengapa demikian?” Jawabnya:  “Ada seorang nenek tua yang pergi ke budha’ah -sebuah kebun di Madinah- untuk mengambil ubi dan memasaknya di sebuah periuk dan juga membuat adonan dari biji gandum. Apabila kami selesai shalat Jum’at, kami pergi dan mengucapkan salam padanya lalu dia akan menyuguhkan (makanan tersebut) untuk kami. Itulah sebabnya kami sangat gembira. Tidaklah kami tidur siang dan makan siang kecuali setelah jumat"
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalil kedua:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;

يَا عَائِشَةُ هَذَا جِبْرِيلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلَامَ قَالَتْ قُلْتُ وَعَلَيْهِ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَرَى مَا لَا نَرَى
Artinya :
"“Wahai Aisyah, ini adalah Jibril menyampaikan salam kepadamu.” Aisyah menjawab, “Aku mengatakan: wa’alaihis salam warahmatullah. Engkau (Rasulullah) melihat apa yang tidak aku lihat”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Maknanya bukan berarti malaikat adalah laki-laki, tetapi Allah menyebutkannya dengan laki-laki hanya sebagai sebutan
Dan dijadikannya hadits ini sebagai dalil bolehnya seorang laki-laki mengucapkan salam kepada kaum wanita karena saat itu Jibril datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam bentuk seorang laki-laki


Dalil ketiga:

أَسْمَاءُ بِنْتُ يَزِيدَ قَالَتْ مَرَّ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا
Artinya :
“Dari Asma’ binti Yazid al-Anshariyah radhiyallahu 'anha, berkata: ‘Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati kami, kaum wanita lalu beliau mengucapkan salam kepada kami”
(HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 3701)


Dalil keempat:
Dari hadits Kuraib, maula Ibni Abbas menceritakan, bahwa Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Azhar dan Miswar bin Makhramah pernah mengutusnya kepada Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata,

اقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنَّا جَمِيعًا وَسَلْهَا عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ
Artinya :
Sampaikan salam dari kami semua kepadanya, dan tanyakan tentang dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar
(HR. Bukhari dan Muslim)
  • Jadi sangat jelas dari keempat dalil yang disebutkan bahwa dibolehkan kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita


B. Salam wanita kepada laki-laki

Dalil pertama:
Dari Abu Murrah, maula Ummi Hani’ binti Abu Thalib mengabarkan bahwa ia pernah mendengar Ummi Hani’ mengatakan,

ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ
Artinya :
“Aku pernah datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saat Fathu Makkah, aku mendapatinya sedang mandi sedangkan Fatimah putri beliau menutupinya dengan kain. Lalu aku mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda: “Siapa di situ?” Aku menjawab, “Ummu Hani anak perempuan Abu Thalib.” Beliau menyahut, “Selamat datang wahai Ummu Hani!”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ummu Hani’ merupakan saudara sepupu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan bukan bagian dari mahram beliau. Dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan beliau tidak mengingkarinya, yang berarti menyetujuinya yang menunjukkan bolehnya tindakan tersebut. Wallahu a’lam


Dalil Kedua:
Dari al-Hasan al-Bashri berkata,

كُنَّ النِّسَاءُ يُسَلِّمْنَ عَلَى الرِّجَالِ
Zaman dahulu (yakni zaman sahabat), para wanita mengucapkan salam kepada kaum laki-laki
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dengan sanad hasan)

Dari kedua dalil di atas sangat menunjukkan bahwa kaum wanita mengucapkan salam kepada kaum laki-laki telah ada dan terjadi pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat
Karenanya, berdasarkan keumumannya dibolehkan. Namun disyaratkan aman dari fitnah dan tidak menimbulkan kerusakan
Karena syariat datang untuk mewujudkan mashalih bagi umat manusia dan menghilangkan segala kemudharatan

Berdasarkan dari dalil-dall di atas sangat jelas bahwa mengucapkan salam kepada lawan jenis tidak apa-apa, dibolehkan. Dengan syarat aman dari fitnah.

Kesimpulan
Berdasarkan dari dalil-dall di atas sangat jelas bahwa mengucapkan salam kepada lawan jenis tidak apa-apa, dibolehkan, dengan syarat aman dari fitnah
Karena syariat datang untuk mewujudkan mashlahat dan menghilangkan mudharat
Oleh sebab itu ada sebagian ulama, seperti Madzab Malikiyah membedakan antara salam kepada wanita tua dan yang masih muda
Kalau kepada yang sudah tua dibolehkan karena tidak akan menimbulkan fitnah, dan kepada yang masih muda melarangnya sebagai tindakan prefentif terhadap fitnah

Al-Mutawalli –sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Hajar dalam syarah hadits salam Jibril kepada Aisyah di atas- menukilkan jika wanitanya cantik sehingga dikhawatirkan timbul fitnah darinya maka tidak disyariatkan mengucapkan salam, baik untuk memulai atau menjawab
Kalau salah seorang dari laki-laki atau wanita seperti itu mengucapkan salam, maka yang lain tidak dianjurkan menjawabnya
Jika wanitanya sudah tua dan diperkirakan tidak menimbulkan fitnah maka dibolehkan
Begitu juga jika berkumpul kaum laki-laki dan wanita dalam satu majlis maka dibolehkan untuk mengucapkan salam dari salah satu kelompok selama aman dari fitnah
Yang pada intinya harus tetap memperhatikan kaidah fiqih,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya :
"Membendung kerusakan lebih utama daripada mendapatkan kemaslahatan"
(Lihat Shahih Adab Mufrad hal.398-399 karya Al-Albani)

Wallahu Ta’ala a’lam.
[PurWD/voa-islam.com]


***
Referensi :
Senin. 24 januari 2011
http://m.voa-islam.com//news/tsaqofah/2011/01/24/12935/hukum-lakilaki-mengucapkan-salam-kepada-kaum-wanita-dan-sebaliknya/
*