Minggu, 15 September 2013

Qadha Shalat





~*~  Qadha Shalat  ~*~




Assalamualaikum
saya ingin menanyakan perihal qadha sholat
Saya dengar ada yang menyebut solat dapat di qada,
apakah benar demikian?
Bila benar bagaimana hukumnya dan tata cara melakukannya?
Terima kasih

Dari: Harindra Abiddina Falach



***


Wa alaikumus salam warahmatullah ..
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Diantara amalan yang tingkat kewajibannya sangat kuat adalah shalat
Karena itu, shalat hukumnya wajib dikerjakan oleh semua orang yang telah baligh, selagi dia masih berakal

Namun sayang, perhatian kaum muslimin terhadap shalatnya, tidak sekuat tingkat kewajibannya
Ada diantara mereka yang meninggalkan sama sekali, ada yang bolong-bolong,
ada yang suka telat, hingga ada yang sengaja telat
Jika sudah telat, dia mulai resah, bagaimana cara mengqadha’nya

Ada beberapa catatan penting terkait dengan qadha shalat:

(*) Pertama, shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya

Allah berfirman,

“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan waktunya”
(QS. An-Nisa: 103)

Ada batas awal dan ada batas akhir untuk shalat wajib
Orang yang mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga batal
Dengan demikian, hukum asal shalat, harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan
Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali karena ada sebab yang diizinkan
oleh syariat, seperti alasan bolehnya menjamak shalat



(**) Kedua, pelaksanaan shalat wajib ada 4 bentuk :

Ada’, qadha, I’adah, dan dijamak

1.) Ada’ [arab: ﺃﺩﺍﺀ] :
Melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan
Inilah cara mengerjakan shalat dalam kondisi normal, sebagaimana jadwal shalat yang telah dimaklumi bersama

2.) Qadha [arab: ﻗﻀﺎﺀ] :
Melaksanakan shalat setelah batas waktu yang ditetapkan
Ini hanya boleh dikerjakan dalam kondisi tertentu, yang nanti akan dibahas

3.) I’adah [arab: ﺇﻋﺎﺩﺓُ] :
Mengulangi shalat wajib, karena shalat sebelumnya dinilai batal dengan sebab tertentu, namun masih dalam rentang waktu shalat
Misal, orang shalat dzuhur tanpa bersuci karena lupa, kemudian dia mengulangi shalat tersebut sebelum waktu dzuhur selesai

4.) Jamak :
Melaksanakan shalat yang digabungkan dengan shalat sebelumnya atau sesudahnya
Jamak hanya boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan tertentu, sebagaimana yang pernah dibahas di: http://www.konsultasisyariah.com/tentang-menjamak-qashar-shalat/



(***) Ketiga, orang yang telat dalam mengerjakan shalat ada 2 :

a. Telat mengerjakan shalat di luar kesengajaan
Seperti ketiduran, atau kelupaan, kemudian baru sadar setelah waktu shalat selesai
Dalam kondisi ini, dia diwajibkan untuk segera melaksanakan shalat setelah sadar
Dalil ketentuan ini adalah hadis dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Disebutkan dalam hadis yang lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para shahabat

Di malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat
Namun mereka kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sinar matahari
Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar azan dikumandangkan
Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah subuh, kemudian beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat subuh berjemaah

Para sahabatpun saling berbisik, ‘Apa penebus untuk kesalahan yang kita lakukan karena telat shalat?’
Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan shalat. Yang disebut menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat, hingga masuk waktu shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingg telat shalat maka hendaknya dia laksanakan ketika bangun…”
(HR. Muslim)

Namun perlu diingat, makna hadis ini tidak berlaku untuk orang yang sengaja tidur ketika datang waktu shalat, dan tidak bangun sampai waktu shalat selesai
Kemudian dia beralasan ketiduran, padahal tidak ada usaha darinya untuk bangun ketika waktu shalat



b. Telat mengerjakan shalat dengan kesengajaan

Orang yang sengaja menunda shalat, hingga keluar waktu shalat, telah melanggar dosa yang sangat besar
Sampai sebagian ulama memvonis perbuatan semacam ini sebagai tindakan kekafiran
Ini menunjukkan bahwa sengaja menunda waktu shalat sampai keluar waktu, statusnya dosa yang sangat besar
Dan dia wajib untuk sungguh-sungguh bertaubat

Apakah orang ini wajib qadha?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, Mayoritas ulama berpendapat, dia tetap wajib mengqadha shalatnya dan dia berdosa karena perbuatannya, selama belum sungguh-sungguh bertaubat
Sementara pendapat yang dikuatkan syaikhul islam, qadha shalat yang dia kerjakan tidak sah, karena berarti dia melaksanakan shalat di luar waktu tanpa udzur (alasan) yang dibolehkan

Syaikhul Islam mengatakan,
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan meng-qadhanya. Dan jika dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam”
(Al-ikhtiyarot, hlm. 34)



(****) Keempat, bolehkah melakukan qadha shalat di waktu terlarang

Ada beberapa waktu yang terlarang untuk shalat, diantaranya:
Ketika matahari terbit, atau matahari tenggelam
Ketika ada orang yang ketiduran shalat subuh dan baru bangun ketika matahari terbit, atau ketiduran shalat asar, dan baru bangun ketika matahari terbenam, bolehkah dia mengqadha?

Dalam fatwa islam dinyatakan,
Jika seorang muslim memiliki udzur, seperti ketiduran atau kelupaan, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat ketika sudah sadar, meskipun di waktu yang terlarang. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Simak Al-Mughni (2/515) (Fatawa Islam, no. 20013)



(*****) Kelima, baru teringat setelah melewati beberapa shalat

Orang yang lupa shalat, dan baru teringat setelah melewati beberapa shalat maka dia wajib mengqadha shalat tersebut dan beberapa shalat yang dilewati
Misalnya, orang lupa shalat dzuhurdan baru ingat setelah maghrib
Dia wajib mengqadha shalat dzuhur, asar, kemudian maghrib
Demikian yang difatwakan oleh Imam Malik

Keterangan selengkapnya tentang ini, telah dibahas di:
http://www.konsultasisyariah.com/cara-mengganti-shalat-yang-terlupa/



(******) Keenam, Shalat tanpa bersuci karena lupa Shalat tanpa bersuci, baik dengan wudhu maupun tayammum, hukumnya batal, Kecuali jika dia tidak mampu melakukan keduanya

Namun jika ada orang yang shalat tanpa berwudhu karena lupa, padahal normalnya dia mampu berwudhu, maka status shalatnya batal dan wajib diulangi, ketika ingat
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah tidak menerima shalat kalian ketika dalam kondisi hadats, sampai dia berwudhu”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Karena statusnya batal, shalat yang dikerjakan tanpa berwudhu, tidak dinilai sebagai shalat
Dan jika dia baru ingat setelah keluar waktu shalat maka wajib diqadha


Dalam Fatwa Sayabakah Islamiyah dinyatakan,
“Orang yang shalat tanpa wudhu karena lupa, kemudian dia baru teringat, meskipun sudah keluar waktu shalat, dia harus berwudhu dan mengulangi shalatnya"

Dia tidak berdosa, selama itu dilakukan karena lupa
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya Allah meangampuni kesalahan umatku karena keliru, lupa, atau dipaksa”
(HR. Ibnu Majah, Baihaqi dan yang lainnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 27116)


Allahu a’lam









***
Referensi :
http://www.konsultasisyariah.com/enam-catatan-tentang-qadha-shalat/#axzz2Q4bApM2a
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
*

Cara Menjama' Shalat





~*~  Cara Menjama' Shalat  ~*~




Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Ustadz, bagaimanakah cara menjama’ ta’khir shalat seperti zhuhur dan Ashar,
Apakah Zhuhur duluyang dikerjakan, atau Ashar kemudian Zhuhur?
Mohon penjelasannya disertai dengan hadits yang pernah dilakukan Rasulullah
Terima kasih sebelumnya
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.



***



Waalaikumussalam Wr Wb
Abu Affan yang dimuliakan Allah swt
Syarat sah melakukan shalat jama’ taqdim :

Jumhur fuqaha berpendapat dibolehkan menjama’ dan dibolehkan melakukan jama’ taqdim dengan empat persyaratan :

1. Mendahulukan shalat yang lebih awal dari kedua shalat *yang akan dijama’ taqdim*

Seperti :
Dzhuhur dan maghrib karena waktu tersebut adalah waktunya sedangkan shalat yang kedua mengikutinya dan yang mengikuti tidaklah mendahului yang diikuti
Seandainya seseorang shalat ashar sebelum zhuhur atau isya sebelum maghrib, maka shalat zhuhurnya tidaklah sah dalam shalat yang menjama’ zhuhur dan ashar serta tidak pula sah shalat isyanya dalam shalat yang menjama’ maghrib dan isya

Diwajibkan baginya untuk mengulangi shalat itu setelah shalat yang pertama apabila dia menginginkan jama’




2. Berniat jama’ dan saat yang paling tepat untuk itu adalah pada permulaan shalat pertama

Dibolehkan pula berniat disaat shalat pertama berlangsung hingga salam




3. Tidak menyelangi antara dua shalat itu, yaitu tidak ada selang waktu (jeda) yang lama diantara kedua shalat itu

Adapun jika selang waktunya sebentar maka tidak mengapa …
Jika selang waktunya lama diantara kedua shalat itu maka jama’ tersebut batal,
Apakah orang itu memisahkannya dengan tidur, lupa, kesibukan atau lainnya
Dan yang menjadi patokan selang waktu itu lama atau sebentar adalah kebiasaan setempat sebagaimana umumnya suatu perkara yang tidak ada ketentuannya dalam terminologi syariah atau etimologi…

Sebagian ulama Hambali dan Syafi’i menentukan ukuran selang waktu yang sebentar dengan ukuran iqomat lalu para ulama Hambali menambahkan seukuran berwudhu




4. Tetap dalam keadaan bersafar saat mengawali shalat pertama hingga selesai darinya dan mengawali shalat ke dua

Jika dia berniat menetap disaat shalat pertama atau dia tiba di negerinya, sementara dirinya masih melaksanakan shalat petama atau menjadi orang yang mukim diantara kedua shalat itu maka terputus jama’nya dikarenakan hilang sebab yang membolehkan jama’ itu dan diharuskan baginya untuk mengakhirkan shalat yang kedua

Adapun persyaratan sah melaksanakan jama’ takhir :

Disyaratkan bagi sahnya jama’ takhir adalah berniat menjama’ sebelum berlalunya waktu shalat pertama…
Dan jika dia mengakhirkannya tanpa berniat jama’ maka ia berdosa dan shalat itu menjadi qodho dikarenakan telah kehilangan waktunya untuk melakukannya atau berniat untuknya

Para ulama madzhab Safi’i menetapkan persyaratan lainya terhadap jama’ takhir yaitu tetap dalam keadaan safar hingga selesai kedua shalat
Jika dia menetap sebelum selesai melaksanakan kedua shalat itu maka shalat yang pertama menjadi qadha

Adapun para ulama Hambali mensyaratkan keberlangsungan safar hingga masuk waktu shalat kedua
Tidaklah mengapa baginya jika selesai safar sebelum melaksanakan kedua shalat itu dan setelah masuk waktu shalat kedua. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 5443 - 5444)

Jama’ takhir adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat pertama di waktu shalat kedua dan dianjurkan baginya untuk melaksanakan kedua shalat tersebut dengan berurutan, yaitu : shalat zhuhur sebelum ashar di waktu ashar atau shalat maghrib sebelum isya di waktu isya, inilah yang lebih utama

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik berkata,
Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika melakukan safar (perjalanan) sebelum matahari miring, maka beliau mengakhirkan shalat zhuhur hingga waktu ashar, kemudian singgah dan beliau jamak antara keduanya

Namun jika melakukan perjalanan dan matahari telah miring, beliau lakukan shalat zhuhur terlebih dahulu kemudian beliau naik kendarannya

Namun demikian berurutan didalam melaksanakan shalat jama’ takhir adalah sunnah bukan menjadi persyaratan karena waktu melaksanakan jama’ takhir itu adalah miliki shalat yang kedua sehingga dibolehkan bagi seorang yang melaksanakan jama’ takhir melaksanakan shalat kedua lalu yang pertama, seperti : ashar sebelum zhuhur atau isya sebelum maghrib

Hal itu berbeda dengan jama’ taqdim yang disyaratkan untuk mendahulukan shalat pertama sebelum yang kedua, sebagaimana disebutkan diatas


Wallahu A’lam



***
Referensi :
Muhammad Nuh – Rabu, 25 Rajab 1431 H / 7 Juli
2010 11:16 WIB
http://m.eramuslim.com/ustadz-menjawab/cara-menjama-ta-khir.htm
*

Sabtu, 14 September 2013

Hukum Oral Seks





~*~  Hukum Oral Seks  ~*~



Sejarah oral sex, setua sejarah manusia itu sendiri

Dimulai ketika Cleopatra melakukannya terhadap 100 orang laki-laki perwira Romawi hanya dalam waktu satu malam

Ini terjadi sekitar tahun 30-69 Sebelum Masehi



Oral sex masa itu masih terbatas bagi kaum laki-laki saja (fellatio = mencumbu alat vital pria)
Sebab pada masa itu wanita belum terbiasa membersihkan alat kelamin dengan menggunakan air
Namun seiring dengan berjalannya waktu, pria pun melakukan oral sex terhadap wanita (cunnilingus)



Oral sex atau sexualoralisme atau hubungan sex dengan gaya “karaokean” terdiri dari gabungan dua kata yaitu sexual dan oralisme

Kata sexual berarti nafsu birahi atau syahwat yang disalurkan melalui hubungan intim atau senggama yang dalam bahasa Arab disebut jima

Sedangkan kata oralisme berarti mulut
Dalam bahasa Arab disebut al-lisan (jama’ dari alsinatun wa alsunun), yang artinya segala sesuatu dengan menggunakan mulut



Secara terminologis, sexualoralisme berarti mendapatkan kepuasan hubungan seksual dengan menggunakan mulut, bibir atau lidah untuk merangsang alat kelamin pasangan



Oral sex selalu menjadi primadona pertanyaan selama ini

Apakah tabu atau tidak...

Tahukah Anda bahwa dalam Islam sebelum melakukan zima atau hubungan sex, kita dianjurkan untuk melakukan foreplay (mula’abah) atau permainan pendahuluan?

Ini dianjurkan agar hubungan sexual yang dilakukan tidak menyerupai hubungan sexual yang dilakukan oleh binatang
Yakni, tanpa pemanasan

Sehingga diharapkan tidak ada pihak yang tersakiti

Dan sangat diharapkan kedua belah pihak untuk bisa menikmatinya



Salah satuk bentuk foreplay dalam pengetahuan sexualitas modern yaitu tadi oral sex atau sexualorisme yang dikenal juga dengan sebutan posisi 69



Umat Islam masih sering menganggap oral sex dianggap tidak sesuai dengan tuntunan melakukan hubungan sexual yang diajarkan oleh Rasulullah yang penuh dengan etika dan estetika yang luhur

Hal ini diperkuat dengan teks-teks Al-Qur’an dan hadist yang berbicara masalah hubungan sex masih bersifat zhanni (samar)

Sehingga membuka peluang pemahaman yang berbeda-beda di kalangan ulama
Terutama mempertimbangkan segi mashlahat dan mudharatnya

Akan tetapi, apabila ditinjau dari aspek manfaat, berdasarkan penelitian Imam Al-Syathibi (w. 790 H) dalam karya monumentalnya, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, bahwa ada lima unsur pokok dalam kehidupan yang harus dipelihara yaitu
Hifzh al-din (memelihara agama)
Hifzh al-nafs (memelihara jiwa)
Hifzh al-aql(memelihara akal),
Hifzh al-nasl
(memelihara keturunan)
Dan hifzh al-mal
(memelihara harta)


Kelima pokok tersebut merupakan hasil interprestasi Al-Qur’an dan Hadist


Berdasarkan hasil penelitian Imam al-Syathibi diatas maka kajian tentang perilaku oral sex dalam pandangan Islam dan medis sangatlah penting untuk dilakukan, terutama dari segi manfaat (mashlahat) dan mudharatnya


Namun terlepas dari itu semua, hal ini tergantung dari kepentingan, kenyamanan, kesehatan alat kelamin dan mulut serta komitmen dalam perkawinan antara pasangan suami istri yang sah secara hukum dan agama untuk melakukan oral sex


Jangan sampai salah satu pihak merasa terintimidasi!



Kesimpulannya :

Oral sex = ulama-ulama sepakat untuk MEMPERBOLEHKAN, bahkan menelan sperma pun tidak dilarang
NAMUN ... ada ulama yang tidak sependapat, dikarenakan oral sex ~ menyalahi penggunaan anggota tubuh
Sebagai mana mestinya


Wallahuàlam bishawab ...


Semoga bermanfaat



***
Referensi :
Minggu, 15 Juli 2012
http://jalanakhirat.wordpress.com/2012/07/15/hukum-kulum-zaka r-suami-oral-seks/
*